RSS
Facebook
Twitter

Kamis, 25 September 2014

Wah, Suku di Sulawesi ini Pakai Aksara Korea

Ketika gelombang K-Pop melanda, suku Cia-Cia di Bau-Bau Sulawesi mungkin tak kesulitan memahami tulisan bahasa Korea. Suku minoritas dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa ini memakai aksara Hangeul. Pemerintah bahkan mengakui dan mengesahkan secara resmi penerapan Hangeul (Alphabet Korea) oleh suku minoritas Cia-Cia.
Jangan salah sangka, bukan berarti suku Cia-Cia memakai bahasa Korea. Mereka punya bahasa ibu sendiri. Masalahnya bahasa asli mereka semakin ditinggalkan karena mengalami kesulitan saat harus ditulis dengan aksara latin bahasa Indonesia. Hangeul pun dipilih, aksara ini dapat dituliskan bahasa asli mereka lebih akurat.

Juga bukan berarti aksara hangeul telah diajarkan turun-temurun dalam suku Cia. Sesungguhnya ini penerapan baru. Harapannya, menggunakan aksara hangeul bisa mengembalikan bahasa asli dipakai lagi.

Demi melestarikan bahasa Cia-Cia, Abidin, guru bahasa Inggris SMAN 6 Bau-Bau, yang dibantu dosen Seoul National University (SNU) Lee Ho Nam getol memberikan pelatihan penulisan huruf Hangeul kepada para guru. Setidaknya hingga kini sudah 20 guru SD dan SMP kota itu yang menerima pelatihan penulisan aksara Hangeul.

Tidak hanya itu, bersama Prof Lee Ho Young dan Lee Ho Nam, Abidin menyusun buku pelajaran bahasa Cia-Cia dengan format tulisan aksara Hangeul. Buku yang diberi judul Buku Cia-Cia I itu menjadi buku pegangan bagi siswa kelas 4, 5, dan 6 SD.

Salah seorang di antara 20 guru yang sudah lulus pelatihan itu adalah La Ali, guru SDN 2 Bugi, Bau-Bau. Sebagai orang Cia-Cia, Ali pun masih fasih berbahasa suku Cia-Cia. Pada 2012 Ali kembali terpilih untuk mengikuti kursus singkat penulisan aksara Hangeul di Korsel. Dia berangkat bersama tiga guru Bau-Bau lainnya. Selama dua bulan mereka belajar bahasa Korea, aksara Hangeul, serta bahasa Cia-Cia di Hankuk University, Seoul, Korsel.
Dari kursus itu, Ali jadi tahu beberapa karakter aksara Hangeul yang dinilai tidak sesuai dengan bahasa Cia-Cia. Misalnya, dalam bahasa Korea tidak ada aksara yang berkonsonan "gh", sedangkan dalam bahasa Cia-Cia ada. Karena itu, Ali mengusulkan adanya aksara tambahan untuk "gh" yang bentuknya mirip angka tujuh dengan titik di bagian tengah lengkungannya.

"Saya minta tambahan untuk "gh" dan mereka setuju," ujarnya. Contoh kata yang menggunakan konsonan "gh" adalah ghabu yang berarti buat atau ghato yang berarti tiba.

Selain itu, lanjut Ali, dalam bahasa Korea tidak ada konsonan "w". Bahasa Korea membunyikan "w" dengan cara menggabungkan huruf "o" dan huruf lain. Jadi, misalnya untuk bunyi "wa", aksara Hangeul tidak terdiri atas huruf "w" dan "a", melainkan "o" dan "a".

Di Hankuk University, Ali dan kawan-kawan juga berkesempatan mengajar di salah satu SMP di Seoul. Di SMP khusus laki-laki tersebut, ternyata bahasa Cia-Cia juga diajarkan. 

Penggunaan aksara Hangeul semakin luas setelah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Bau-Bau memasukkannya dalam kurikulum muatan lokal di SD belum lama ini. Bagi siswa, aksara hangeul sangat menarik. Para murid pun bersemangat menerima pelajaran bahasa Cia-Cia. Bahkan, tidak sedikit siswa yang kerap mencatat pelajaran IPS dengan aksara Hangeul.

"Lebih gampang dibaca dan hurufnya lucu. Menulis dengan huruf Hangeul menyenangkan," ujar Sumiarti, siswi kelas 5 SD Negeri 2 Bugi.

Sepintas Hangeul
Di masa lalu, rakyat Korea menggunakan  aksara Tionghoa (Hanja). Karena bahasa tuturnya berbeda maka sering timbul kesulitan saat harus menulis literatur dengan bahasa Korea.
Raja Sejong adalah seorang pemimpin sekaligus ilmuwan, dan pelopor budaya. Melalui upaya keras bertahun-tahun, ia meneliti unit dasar Bahasa Korea menggunakan kemampuannya sendiri tentang kebahasaan dan akhirnya berhasil menuangkannya dalam bentuk aksara, Hunminjeongeum. Inilah cikal-bakal Hangeul.

Hangeul tersebut dibuat oleh Raja Sejong tahun 1443  masa Dinasti Joseon. Lucunya aksara ini ditolak masyarakat Korea. Barulah di akhir abad 18 mulai bisa diterima dan menjadi populer. Sebagai peringatan atas jasa Sejong kini penduduk Korea Selatan merayakan Hari Aksara (Alphabet Day). Patung raja Sejong juga berdiri megah di taman pusat kota.

 Alfabet Hangeul terdiri dari 24 huruf (jamo)— 14 huruf mati (konsonan) dan 10 huruf hidup (vokal). Dibanding aksara bangsa lain, Hangeul tidak didasarkan pada suatu bahasa tulis atau meniru aksara lain, namun unik khas Korea. Lebih lagi, Hangeul merupakan sistem penulisan yang bersifat ilmiah, didasarkan pada pengetahuan kebahasaan yang mendalam dan asas-asas filosofis sehingga membuatnya praktis, mudah dipelajari, dan elok rupanya.

http://yafi20.blogspot.com/2013/10/wah-suku-di-sulawesi-ini-pakai-aksara.html

0 komentar:

Posting Komentar